Biasakan Membaca, Pendidikan.id Luncurkan Komik Digital untuk Melawan Hoaks

Biasakan Membaca, Pendidikan.id Luncurkan Komik Digital untuk Melawan Hoaks

Fakta menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih mudah termakan oleh berita yang belum tentu kebenarannya, dan kemudian menyebarkannya, alias hoaks.
Salah satu bahaya hoaks adalah mudahnya menyulut kontroversi. Kepala Editor Trans Media, Titin Rosmasari, mengatakan, “Salah satu faktor masyarakat Indonesia mudah sekali mempercayai hoaks atau berita palsu ialah rendahnya budaya literasi di Indonesia.”
Hal ini diperkuat dengan data dari UNESCO yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 atau 1 dari 1.000 orang Indonesia yang memiliki minat baca serius. Selain itu, World’s Most Literate Nations juga mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia termasuk negara dengan minat baca yang sangat rendah. Padahal, Organisasi Pendidikan dan Kebudayaan PBB menetapkan standar durasi membaca antara 4-6 jam sehari.
Salah satu penyebab masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan membaca yang rendah adalah kurangnya bahan bacaan non-pelajaran.
Menurut Ketua IKAPI, Rosidayati Rozalina, jenis bacaan yang paling populer adalah novel, komik, dan buku anak. Dan melihat fakta ini, Mahoni Edukasi Digital yang merupakan sebuah startup edutech di Indonesia, sebagai pengembang portal Pendidikan.id, sejak beberapa tahun lalu mencanangkan program Komik Pendidikan yang menyediakan bacaan literasi berupa komik yang mengangkat topik seperti moral-budi pekerti, kesehatan, pengetahuan, dan sejarah yang dikemas dengan cerita dan gambar yang menarik sehingga disukai oleh anak-anak.
Sejauh ini, program berjalan dengan sangat sukses melalui ujicoba mencetak komik dan membagikannya gratis ke banyak sekolah yang disambut antusias oleh anak-anak Indonesia. Kegiatan yang berlangsung dibeberapa kota di Jawa sampai dengan Papua, dan diharapkan dapat secara langsung membantu meningkatkan minat baca anak.
Namun, kegiatan mencetak komik kemudian membagi-bagikannya tidaklah terlalu efektif, karena tidak semua anak Indonesia kebagian mendapatkan Komik Pendidikan ini. Karena itu, Pendidikan.id sudah memiliki solusinya yaitu dengan menciptakan sebuah aplikasi edutech yang dinamakan Kipin School 4.0 dimana 250 Komik Pendidikan sudah ada di dalam aplikasi Kipin School dan dapat diunduh gratis melalui gawai Android atau IOS, maupun lewat personal komputer berbasis Windows 10.
Santoso Suratso, CEO Pendidikan.id, mengatakan, “Saat ini, Pendidikan.id sudah memproduksi lebih dari 250 judul komik (dan akan terus bertambah) yang semuanya bisa diunduh gratis tanpa perlu membayar sepeser pun melalui aplikasi Kipin School 4.0, sehingga bisa dibaca di manapun dan kapanpun tanpa membutuhkan jalur internet lagi.”
Santoso Suratso menambahkan, “Kami berharap dengan adanya Komik Pendidikan ini, dapat meningkatkan minat baca anak-anak Indonesia sehingga menjadikan mereka pribadi yang mampu berpikir kritis, mampu menyeleksi segala informasi yang ada, dan menjadi pemuda/pemudi bangsa yang berintegritas dan berdaya saing.”
Share:

Biaya Kuliah di AS Tinggi, Mahasiswa Asing Kian Lirik Negara Lain

Biaya Kuliah di AS Tinggi, Mahasiswa Asing Kian Lirik Negara Lain

Meski jumlah mahasiswa asing yang kuliah di Amerika Serikat mengalami kenaikan stabil, namun belakangan karena karena biaya-biaya lainnya yang makin tinggi, belum lagi masalah imigrasi, hingga wacana politik yang memecah-belah membuat banyak mahasiswa asing kini mempertimbangkan pilihan lain.
Banyak mahasiswa asing kini dinilai mulai melirik negara-negara lain yang kini bersaing ketat dengan Amerika, termasuk Kanada, Australia, Selandia Baru, negara-negara Eropa, dan bahkan China.
Negara-negara itu menyediakan berbagai kemudahan yang membuat mahasiswa internasional merasa lebih nyaman belajar dengan biaya yang lebih murah.
Ilustrasi belajar ujian. (Shutterstock)
Ilustrasi belajar. (Shutterstock)
“Bukan rahasia lagi bahwa dibandingkan dengan negara-negara lain, biaya pendidikan tinggi di Amerika Serikat secara signifikan jauh lebih tinggi," kata Fanta Aw, Wakil Presiden di American University, Washington D.C, 
Namun, tingginya biaya kuliah bukanlah satu-satunya faktor yang menjadi alasan.
Sebuah studi oleh Institute for International Education, sebuah lembaga pendidikan internasional, merujuk pada anggapan mengenai kejahatan di Amerika dan wacana politik yang kontroversial terhadap para imigran.
Menurut Bachtiar Romadhoni Asral, seorang mahasiswa berasal dari Indonesia, hal tersebut juga menjadi perhatian utamanya.
“Sebenarnya ini menjadi perhatian utama saya, karena latar belakang saya adalah orang Indonesia, Asia, dan Muslim. Penampilan saya juga berbeda, sehingga orang dapat mengatakan bahwa saya dari luar Amerika. Ini akan menjadi situasi yang menantang bagi saya untuk beradaptasi di Amerika Serikat, meskipun pada awalnya saya pikir itu bukan masalah karena saya merasa bahwa Amerika itu berpikiran terbuka," kata Bachtiar seperti mengutip VOAIndonesia.
Sementara negara-negara lain, seperti Kanada, dipandang oleh sebagian calon mahasiswa internasional lebih bersahabat. Biro Pendidikan Internasional Kanada berusaha menarik para mahasiswa dari Tiongkok, India, Filipina, Vietnam, dan Pakistan dengan menawarkan visa yang memerlukan waktu hanya tiga minggu untuk pemrosesannya.
“Kami telah menemukan bahwa berdasarkan statistik yang kami miliki, ini adalah negara-negara yang paling tertarik mengirimkan mahasiswa mereka ke Kanada," kata Wakil Duta Besar Kanada untuk Amerika Serikat Kirsten Hillman.
Walaupun jumlah mahasiswa internasional di Kanada lebih sedikit daripada di Amerika, mereka yang menempuh studi lanjut di Kanada mendapati jalur imigrasi mereka membuahkan hasil yang didambakan, seperti yang dialami oleh Masroor Khan, lulusan Universitas Manitoba di Kanada.
“Setelah lulus sarjana, saya mendapat izin kerja tiga tahun, yang juga disebut sebagai izin kerja pascasarjana, dan saya melamar pekerjaan. Saya direkrut di sebuah perusahaan akuntansi. Di sana saya bekerja purna waktu selama satu tahun sehingga saya memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan menjadi penduduk permanen," kata Masroor.
Selandia Baru, dengan 130.000 mahasiswa internasional, juga meningkatkan strategi rekrutmennya.
Menurut Julian Ashby, pejabat di lembaga Education New Zealand, sebagian besar - atau sekitar 50 persen - mahasiswa di Selandia Baru kebanyakan berasal dari Tiongkok dan India. Education New Zealand adalah lembaga yang berusaha menarik mahasiswa internasional untuk belajar di negara itu.
"Tetapi, kami juga tentu saja berminat besar untuk menarik mahasiswa dari Amerika Selatan, Amerika Utara dan Eropa serta Timur Tengah dan Asia Tenggara," kata Julian.
Meskipun terjadi kompetisi, sebagian pakar percaya Amerika sekali lagi akan dapat menjadi pilihan utama bagi mahasiswa internasional. Hal tersebut diungkapkan Mary Catherine Chase, Direktur Komunikasi, Program Pertukaran Mahsiswa Internasional.
“Salah satu hal yang fantastis mengenai lanskap pendidikan tinggi secara global adalah kenyataan bahwa negara mana pun bisa menjadi tujuan utama untuk menempuh studi lanjut, tergantung pada faktor-faktor yang tepat. Jadi, AS, misalnya, bisa menjadi negara tujuan utama lagi untuk pendidikan tinggi dan mendominasi negara-negara lain untuk sementara waktu," kata Mary.
Mary Catherine Chase menambahkan bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh universitas, seperti membuat mahasiswa internasional merasa lebih diterima melalui kuliah tambahan bahasa Inggris, jejaring antar mahasiswa dan berbagai organisasi kemahasiswaan, akan ikut menarik lebih banyak mahasiswa asing datang dan menempuh studi lanjut di Amerika.
Share:

Mendikbud Muhadjir Effendy Meluncurkan Program Digitalisasi Sekolah

Mendikbud Muhadjir Effendy Meluncurkan Program Digitalisasi Sekolah

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy, meluncurkan Program Digitalisasi Sekolah di salah satu pulau terluar Indonesia, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Peluncuran dilakukan Rabu (18/9/2019).
Kegiatan ini ditandai dengan pemberian bantuan sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi (TIK) kepada sekolah dan gawai atau tablet kepada siswa. Menurut Mendikbud, program digitalisasi sekolah ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) menyongsong revolusi industri 4.0.
Ia berharap, Kabupaten Natuna yang menjadi lokasi perdana peluncuran Program Digitalisasi Sekolah, dapat menjadi contoh yang baik bagi sekolah-sekolah di kabupaten dan provinsi lainnya.
” Mulai sekarang saya mohon kepada guru untuk mulai mempelajari dan menguasai materi yang tersedia di portal Kemendikbud, khususnya di dalam platform digital, yaitu Rumah Belajar. Itu gratis ,tidak perlu membayar. Kita harap platform ini tidak sekadar untuk menyediakan bahan belajar, tetapi bisa jadi tempat berinteraksi antara guru dengan siswa, guru dengan guru, siswa dengan siswa bahkan jika bisa dengan pihak yang lain, seperti Pak Bupati juga bisa terlibat disitu, Kapolres dan yang lainnya bisa memanfaatkan Rumah Belajar ini untuk berinteraksi dengan para siswa,” harap Mendikbud.
Pada kesempatan yang sama, Bupati Natuna, Abdul Hamid Rizal, mengapresiasi atas peluncuran digitalisasi sekolah di Kabupaten Natuna.
“Atas nama Pemerintah Kabupaten Natuna, kami ingin menyampaikan apresiasi kepada Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang sudah meluangkan waktu untuk meninjau proses pembangunan pendidikan di daerah kami. Melalui kunjungan kerja kali ini, Bapak sudah berkenan meluncurkan beberapa program seperti penyerahan Kartu Indonesia Pintar, penerapan sekolah digital dan beberapa program lainnya. Semoga segala perhatian yang diberikan bagi kami dapat memberikan pengaruh positif bagi kami dalam menyelenggarakan program kerja di bidang pendidikan, yang pada gilirannya akan membawa putra dan putri daerah menjadi SDM yang berkualitas dan berdaya saing,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Didik Suhardi mengatakan, Program Digitalisasi Sekolah merupakan terobosan baru yang memanfaatkan perkembangan TIK untuk mempermudah proses belajar mengajar.
“Guru dan siswa makin mudah mengakses bahan ajar. Guru, siswa kepala sekolah dan unsur pendidikan juga bisa mengaksesnya. Selain itu, komunitas guru bisa bekerja sama membuat materi bahan ajar digital, membuat tes ujian harian secara bersama-sama dalam jaringan offline, maupun online,” ujarnya.
Share:

Pelajar Ikut Demonstrasi, Guru hingga Emak-emak Angkat Bicara

Pelajar Ikut Demonstrasi, Guru hingga Emak-emak Angkat Bicara

Aksi Demonstrasi pelajar turun ke jalan menyusul demonstrasi mahasiswa menolak RKUHP beberapa waktu lalu telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang mendukung, tapi ada pula yang menentang.

Sebagian yang mendukung atas aksi demonstrasi pelajar setingkat SMA, STM, dan SMK ini lantaran dianggap tak ada salahnya menyalurkan aspirasi dalam permasalahan di negeri ini.
Namun, kalangan lain yang tidak setuju menganggap pelajar belum layak memasuki ranah politik karena sebagian besar belum cukup usia.
Namun Dosen sekaligus Pakar Komunikasi Politik Dr. Zaenal Mukarom, M.Si melihat demonstrasi pelajar tersebut patut diapresiasi dan menunjukkan tumbuhnya kesadaran generasi muda. Mengingat di zaman digital generasi muda sempat mengalami krisis terhadap isu sosial yang ada.
"Tidak perlu setiap orang kerap berprasangka buruk terhadap keterlibatan pelajar, sekarang dianggap diperhitungkan. Harus dipandang secara positif bahwa di balik itu semua kesadaran generasi muda kita ini yang sudah dianggap krisis kini sudah mulai tumbuh," ujar Zaenal saat dihubungi Suara.com beberapa waktu lalu.
Proses Pendidikan Politik
Berdasarkan temuan di lapangan, lanjut dia, saat pelajar ditanyai seputar argumen dan isu yang ingin disampaikan, memang sangat terlihat bahwa pemahaman para pelajar masih sangat dangkal.
Dari sisi berbicara dan menyampaikan aspirasi pun tidak terstruktur. Meski demikian Zaenal melihatnya sebagai suatu proses pendidikan politik yang belum matang, namun dari sisi keterlibatan sudah selayaknya para pelajar tersebut diacungi jempol.
"Ya ini (tidak paham isu) fenomena yang lain yang kemudian, artinya begini dalam konteks keterlibatan mereka dalam menyuarakan suara moral itu tetap harus diposisikan dan dibaca sebagai proses pendidikan politik yang mencerdaskan anak bangsa, artinya nggak ada masalah," tuturnya.
"Hanya (akan jadi masalah) jika ada fakta-fakta dan temuan di lapangan aktivitas mereka cenderung digiring, mereka sendiri tidak tahu dan tidak paham sehingga tidak bisa berproses dengan sendirinya," sambungnya.
Anak STM geruduk gedung DPR. (Suara.com/Novian)
Anak STM geruduk gedung DPR. (Suara.com/Novian)
Laki-laki yang juga dosen pascasarjana di Universitas Islam Negeri Bandung itu sangat tidak setuju jika politik hanya diklaim milik para mahasiswa dan orang dewasa saja.
Mengingat, sejak kecil dari TK bahkan para pelajar telah diajarkan pendidikan politik seperti pelajaran PPKN, pendidikan sosial, cinta tanah air dan pelajaran itu tidak hanya didapat di dalam kelas.
"Tapi konteks bagaimana attitude partisipasi mereka dalam pembangunan politik, karena politik itu kan masalah hajat hidup orang banyak. Jadi tidak mesti harus dipahami bahwa pendidikan politik itu monopoli orang dewasa, lalu kemudian anak-anak remaja tidak bisa," jelasnya.
Meski begitu Zaenal juga tidak menampik jika dari sisi formal orang yang berusia dibawah 17 tahun belum waktunya terjun ke politik.
Namun, kata dia, bukan berarti tidak boleh berpendapat dan kritis terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.
Justru yang harus diingat bagaimana elemen sekitar guru, orang tua, media memberi pengetahuan bagaimana cara mengkritisi yang baik, bukan berarti tidak boleh demo.
"Praktiknya banyak yang tidak sesuai oleh yang diajarkan di bangku sekolah, nah itu yang harus diluruskan. Bahwa kalian boleh sampaikan aspirasi sesuai dengan apa yang diinginkan, tapi tetap dalam bingkai, 'ini loh menghargai orang lain, tidak anarkis dan sesuai koridornya', itu pendidikan politik biasa dan bukan hal yang tabu dan dilarang," paparnya panjang lebar.
Sayangnya, menurut Zaenal, peran media dan perilaku berpolitik orang dewasa ini banyak yang memberikan contoh yang tidak baik. Inilah, sambung dia, yang sepatutnya dikoreksi, karena anak-anak memiliki sifat meniru.
Menurut Zaenal terjadinya aksi anarkis yang dilakukan pelajar saat demonstrasi tidak lepas dari contoh yang dilihat saat para mahasiswa atau orang dewasa lainnya melakukan demo dan berakhir anarkis.
"Apa yang dilihat temen-temen anak SMA seperti misalnya dia melakukan sikap dan prilaku anarkis, vandalisme dan lain-lain. Itu juga karena mungkin dia membaca fenomena bahwa fakta-fakta pendidikan politik seperti menyampaikan suara moral ke jalanan melihat seperti itu (anarkis)," terangnya.
Berbeda dengan Zaenal, Lutfi Kamal M.Pd, Kepala Sekolah SMK Nusantara 1 Comal, Jawa Tengah, justru enggan mengambil risiko dan memilih melarang muridnya ikut demonstrasi yang menyoal RUKHP dan RUU KPK.
Lutfi khawatir dengan berdemo akan menganggu masa depan anak muridnya.
"Saya khawatirnya itu anarkis, jadi tersangka perusakan fasilitas, kasihan juga akibat masa depan, keterangan lulus susah, kelakuan baik susah, apalagi kalau untuk ngalamar perusahaan besar butuh SKCK," ungkap Lutfi melalui sambungan telepon.
Meski demikian Lutfi mengaku setuju dengan demonstrasi yang tidak anarkis dan orang-orang yang ikut demo mengerti apa yang diperjuangkannya itu. Menurutnya, demonstrasi yang berkualitas tersebut bisa menumbuhkan jiwa kritis dan tidak apatis.
"Nah, yang dikhawatirkan jika pelajar tidak tahu betul apa yang didemokan, dan cuma sekadar ikut-ikutan lalu terjadi hal yang tidak dinginkan. Saya melihat nggak ada yang tau apa yang ingin didemokan, nggak tahu tujuannya apa. Anak-anak sekarang kan begitu nggak tahu hanya ingin ramai-ramai aja," tutur Lutfi.
Tidak jauh berbeda dengan Lutfi, Alifatun Yulianti, guru di MAN 1 Bekasi, Jawa Barat, juga punya pendapat serupa. Alif tidak setuju dengan demo yang dilakukan pelajar, meski berpendapat adalah hak setiap orang. Namun, menurutnya, pelajar dianggap belum pantas berdemo.
"Indonesia juga negara hukum yang ada aturan dimana seseorang dianggap dewasa dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatan dan perkatannya setelah 18 tahun. Sementara anak STM masih belum dianggap dewasa jadi mungkin belum pantas kalau dilihat berdasarkan aturan," tutur Alif melalui pesan singkatnya kepada Suara.com, Minggu (29/9/2019).
Alif juga setuju demo adalah bentuk kritik, tapi untuk pelajar alih-alih turun ke jalan, menurutnya banyak yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan jiwa kritis yaitu dengan belajar berdiskusi, lalu dengan sendirinya pemikiran kritis akan terbangun.
"Cuma caranya kalau menurut saya anak seusia SMA mungkin mengkritiknya bisa dimulai dari sekolah dulu. Nah, di sini mungkin guru yang menyediakan ruang buat mereka berdiskusi antar teman dengan dampingan dari guru-guru," jelasnya.
Guru pengajar PPKN ini selalu percaya belajar dan berdiskusi tetap jadi kewajiban utama pelajar. Sehingga saat menjadi mahasiswa dan dewasa jiwa sosial dan kritis akan semakin matang dan terbangun. Saat banyak orang dewasa tidak punya waktu mengkritisi, mahasiswa bisa jadi pengawal jalannya demokrasi di roda pemerintahan.
Riana, warga Tangerang mengungkapkan keresahannya apabila pelajar ikut-ikutan aksi demonstrasi. Menurutnya anak-anak tersebut belum memiliki hak politik secara legal.
"Di sekolah belum ada wadah aspirasi yang mendidik pelajar berpolitik. Berbeda dengan mahasiswa, yang mana di kampus memang ada wadahnya. Kalau, anak-anak ini memang tertarik dengan dunia politik, sebaiknya belajar dulu sambil terus mengikuti isu yang berkembang. Tunggu saatnya nanti tiba untuk menyampaikan buah pemikiran mereka ketika sudah menjadi mahasiswa. Kalau sekarang belum bisa dipertanggungjawabkan," ungkap Riana yang juga lulusan Ilmu Sosial dan Politik di salah satu universitas, panjang lebar, kepada Suara.com, Minggu (29/9/2019).
Pendapat lainnya juga disampaikan oleh seorang ibu milenial, Silvia Junaidi. Ia dengan tegas menyatakan sangat tidak setuju bila pelajar SMA sederajat apalagi SMP ikut demonstrasi.
"Pertama mereka belum mengerti arti dan tujuan demostrasi yang sebenarnya. Dikhawatirkan mereka hanya ikut-ikutan tapi tidak memahami masalah sampai ke akarnya. Misalnya, hanya dilarang pacaran. Ia mengimbau para orang tua ikut mencegah anak-anak ikut demonstrasi, kalau bisa tidak usah sekolah dulu. Lebih dikhawatirkan lagi kalau anak-anak hanya ditunggagi pihak yang tidak bertanggung jawab," tegas Silvia.
Sebagai orangtua yang hanya memiliki satu anak, ia menyatakan akan berpikir ulang untuk mengizinkan anaknya ikut demo, meskipun saat sang anak sudah mahasiswa. Menurut Silvia, para ibu tidak perlu berkecil hati saat anak-anaknya tidak ikut demonstrasi. Begitu pula terhadap diri si anak langsung.
"Apalagi saya pernah ikut demonstrasi 98. Saya tahu bagaimana suasananya dan chaosnya situasi. Sebagai ibu pasti akan mencemaskan keselamatan anak. Tetapi kalau anak kekeuh ingin ikut demo, saya akan ajak diskusi panjang untuk bertukar pikiran lebih dulu," ucapnya.
Ibu-ibu milenial lainnya dari kelompok senam dan arisan Kota Bumi Tangerang juga kompak tidak setuju bila anak-anak mereka mereka yang masih sekolah ikut demo. Mereka sangat mendukung larangan anak sekolah turun ke jalan menolak RKUHP dan RUU KPK.
"Nggaklah, anak saya ada yang SMP, SMA juga ada. Bahkan yang sudah kuliah masih saya larang. Saya maunya mereka belajar saja," ungkap salah satu perwakilan kelompok ibu-ibu berbaju kuning ini.
Terkait isu ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menerbitkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2019 tertanggal 27 September 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik Dalam Aksi Unjuk Rasa Berpotensi Kekerasan.
"Saya ingin mengingatkan peserta didik kita, siswa kita harus kita lindungi dari berbagai macam tindak kekerasan atau berada di dalam lingkungan di mana ada kemungkinan mengancam jiwa yang bersangkutan," kata dalam keterangan tertulis pada Sabtu (28/9/2019). 
Share:

Cegah Aksi Lanjutan Mahasiswa, Menristek Kumpulkan Rektor Kampus Negeri

Cegah Aksi Lanjutan Mahasiswa, Menristek Kumpulkan Rektor Kampus Negeri

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengumpulkan sejumlah rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Jakarta hari ini.
Alasan Nasir mengumpulkan  seluruh rektor kampus negeri tersebut untuk mengantisipasi semakin meluasnya gelombang protes dari para mahasiswa di berbagai kampus yang menolak pengesahan UU KPK, RKUHP, dan revisi UU lain yang bermasalah.
"Kami sengaja mengundang para rektor agar bisa membuat kondisi yang kondusif," ujar Nasir di Jakarta, Senin (30/9/2019).
Diketahui, hari ini mahasiswa dan pelajar di berbagai daerah kembali menggelar aksi unjuk rasa. Unjuk rasa itu merupakan lanjutan dari aksi-aksi yang sudah terjadi di berbagai kota termasuk Jakarta, beberapa waktu lalu.
Nasir mengajak para rektor untuk menciptakan suasana yang teduh menjelang pelantikan anggota DPR, serta Presiden dan Wakil Presiden.
Mantan Rektor terpilih Universitas Diponegoro itu juga meminta para rektor untuk berdialog dengan mahasiswa. Hal itu dikarenakan tuntutan mahasiswa untuk menunda pengesahan sejumlah Rancangan Undang-undang sudah ditunda oleh DPR.
"RUU ini tidak akan disahkan oleh anggota DPR periode sekarang, akan dibahas kembali anggota DPR periode 2019-2024. Oleh karenanya, kami akan undang anggota DPR untuk membahas RUU itu," katanya.
Selain itu, kata dia, materi RUU juga bisa dipelajari karena sudah banyak tersebar di internet. Ia mengajak mahasiswa untuk mempelajarinya dan memberikan masukan terhadap RUU tersebut.
Direktur Politeknik Negeri Samarinda, Ramli, mengatakan pertemuan tersebut membahas demo yang dilakukan mahasiswa. Sejumlah mahasiswa dari kampusnya pun ikut melakukan demonstrasi.
"Demo itu hak mahasiswa, kami tidak bisa melarang. Kami tidak memberikan rekomendasi, karena proses pembelajaran terus berlanjut," kata Ramli.
Sebelumnya, sejumlah aksi unjuk rasa dilakukan mahasiswa menuntut agar agenda reformasi dituntaskan dan juga penundaan pengesahan sejumlah RUU bermasalah seperti RUU KUHP, Ketenagakerjaan, Pertanahan hingga revisi UU KPK. (Antara). 
Share:

Anak Tukang Becak yang Lulus dari ITB Kini Ditunjuk Jadi Dosen Luar Biasa

https: img-z.okeinfo.net content 2019 07 23 65 2082691 anak-tukang-becak-yang-lulus-dari-itb-kini-ditunjuk-jadi-dosen-luar-biasa-ugffJFNre6.jpg

Herayati Sawitri anak pengayuh becak asal Kota Cilegon, Banten akhirnya dapat menggapai cita-cita yang selama ini diimpikan menjadi seorang dosen di tanah kelahirannya. Hera diminta pihak kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) untuk bergabung menjadi dosen luar biasa.
Permintaan itu disampaikan secara langsung oleh Rektor Untirta Soleh Hidayat kepada anak dari pasangan Sawiri dan Durah warga Kelurahan Kotasari, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon. Pihak kampus mengetahui bahwa Hera telah menempuh pendidikan S2 di Institut Tekhnologi Bandung dengan waktu 10 bulan saja.
"Dia punya cita cita menjadi dosen, anaknya berprestasi, dari keluarga dengan perekonomian kurang. Maka kami menyambut baik keinginan dari herayati yang ingin menjadi dosen di Banten," kata Rektor Untirta Soleh Hidayat saat dikonfirmasi, Selasa (23/7/2019).
Sawitri Herawati
Dengan prestasi dan potensi yang dimiliki oleh lulusan terbaik Institut Tekhnologi Banding (ITB), Soleh mengaku dapat memberikan motifasi dan inspirasi kepada anak muda di Banten. Nantinya, Hera akan menjadi dosen di Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan atau Tekhnik Kimia Fakultas Teknik Untrita.
"Semester ini bulan September akan mulai mengajar sebagai Dosen Luar Biasa. Sambil menunggu adanya penerimaan dosen. Nanti Herayati untuk ikut tes sebagai dosen tetap,” jelasnya.
Herayati mengaku bahagia setelah mendapatkan tawaran dan menerimanya menjadi dosen luar biasa dari Untirta. "Tadi diminta menjadi dosen luar biasa untuk ngajar teknik kimia dasar di beberapa jurusan. Lebih banyaknya di Fakultas teknik, dan Alhamdulillah Hera seneng, kan memang inginnya menjadi dosen tetap di sana (untrita)," ujarnya.
Sebelumnya, kata Hera, saat lulus S1 dan memperoleh predikat Cum Laude dengan IPK 3,77 sudah diminta untuk mengabdikan diri menjadi dosen di Untrita jika sudah menempuh pendidikan S2. "Emang inginnya begitu (menjadi dosen), dari tahun lalu sudah saya sampaikan ingin menjadi dosen," kata Hera.
Untuk diketahui, Program Magister Kimia yang sudah dilaluinya menggunakan Program Fast Track dalam waktu satu tahun saja. Hebatnya lagi, Hera lulus dengan tidak mengeluarkan biaya sedkitpun, bahkan bisa memberi kepada orang tua.
Hera menyelesaikan tesis dengan judul “The Sulfonated Chitosan Derivatives: Synthesis and Their Application for Curcumin Delivery”, dengan pembimbing dari ITB yakni Dr. Deana Wahyuningrum dan advisor dari Chulalongkorn University Dr. Varawut Tangpasuthadol dan Dr. Voravee P. Hoven.
Hera akhirnya Wisuda pada Juli 2019 Hera mendapatkan predikat Cum Laude. Inilah hasil dari kerja kerasnya meskipun dengan keterbatasan ekonomi keluarganya.
(kha)
Share:

Viral Siswa SD di Tangsel Belajar Tanpa Meja dan Kursi, Begini Faktanya

https: img.okeinfo.net content 2019 08 01 338 2086643 viral-siswa-sd-di-tangsel-belajar-tanpa-meja-dan-kursi-begini-faktanya-zkpc11NqVz.jpg

Sejumlah orang tua murid mengaku prihatin dengan suasana belajar mengajar putra-putrinya di SDN Pondok Benda 02 Pamulang, Tangerang Selatan (Tangsel).
Para siswa kelas III dan IV di sekolah itu nampak belajar hanya beralaskan karpet di ruang kelas. Padahal diketahui, keberadaan 30 lokal ruangan itu terbilang baru digunakan. Anehnya, hanya sekira 20 lokal ruangan yang operasional dengan meja dan kursi, sedangkan sisanya 10 ruangan masih kosong melompong.
Kondisi sarana yang tak memadai itu, tak lantas membuat semangat siswa-siswi kendur. Mereka tetap antusias mengikuti kegiatan belajar di ruangan kelas. Meskipun diakui, kondisi demikian sedikit banyak mempengaruhi konsentrasi para siswa dalam menimba ilmu.
Kepala Sekolah SDN Pondok Benda 02, Arsin mengatakan, para siswa dari sepuluh kelas yang ada secara sukarela mengumpulkan uang sumbangan untuk membeli karpet, alas untuk belajar di atas lantai.
“Sementara lesehan begini, mohon maaf sebelumnya. Ini bukan keinginan sekolah. Tadinya mau menunggu sampai Oktober baru ada kiriman bangku. Ini keinginan orang tua mendesak, pada ingin masuk pagi semua, jadi semua siswa tidak ada yang masuk siang," kata Arsin kepada Okezone, Kamis (1/8/2019).
Saat ini, kegiatan belajar mengajar para siswa kelas III dan IV tak lagi di ruangan kelas yang belum memiliki meja dan kursi. Karena suatu alasan, akhirnya pihak sekolah memindahkan mereka ke ruangan lain, dan membagi waktu belajar dua shif setiap harinya menempati ruangan secara bergantian.
(fid)
Share:

Viral Kisah Sepatu Siswa SMA Ditahan Guru karena Nunggak Bayar SPP

https: img-k.okeinfo.net content 2019 09 18 337 2106239 viral-kisah-sepatu-siswa-sma-ditahan-guru-karena-nunggak-bayar-spp-YsKZSLHmdX.JPG

Di tengah dilema kabut asap yang sedang melanda Provinsi Jambi, potret dunia pendidikan Tanah Air kembali bikin miris. Betapa tidak, salah satu siswa di SMAN 8 Merangin, terpaksa harus pulang tanpa mengenakan sepatu alias nyeker, lantaran sepatu miliknya ditahan oknum guru dengan dalih belum melunasi uang SPP.
Hal tersebut terlihat dalam sebuah postingan akun facebook @Radja Syarifullah yang dibagikan ulang oleh akun @Alpin di beranda FB-nya, pada Selasa 17 September 2019 kemarin.
Dalam postingan tersebut, akun @Radja Syarifullah mengeluh akibat sepatu anaknya ditahan oleh guru disekolahnya, karena dirinya belum bisa melunasi uang SPP sekolah senilai Rp2.070.000.
Mirisnya lagi, sepatu tersebut sudah tiga minggu ditahan oleh guru tersebut. Saat mau diambil ke sekolah, pihak guru malah kembali menagih kepada siswanya untuk melunasi uang SPP. Melihat perlakuan guru tersebut, akun @Radja Syaifullah pun geram, dan menilai sikap guru tersebut tidak sepantasnya dilakukan di lingkungan sekolah.
Tak hanya itu, dalam postingannya juga disebut bahwa ada beberapa orangtua murid yang baru membayar sebagian uang SPP, dan memutuskan untuk tidak menyekolahkan anaknya lagi di sekolah itu.
Berikut postingan lengkap akun @Radja Syarifullah :
Untuk SMAN 8 Merangin
Meseumkan tu sepatu sekolah anak saya cuma gara2 bayaran uang sekolah Rp2.070.000belum saya bayar kalian tega membuat anak saya pulang tanpa sepatu sdh 3 minggu sepatu di tahan mau di ambil klian bilang lunasi dlu uangnya.
Apa kurang gaji kalian sehingga kalian menekan ortu murid,,,saya bukan tidak ada niat mau membayar tpi krn keadaan,,, bukan saya aja beberapa ortu lain pun yg sdh bayar sebagian uangnya tpi tidak jadi sekolah di sna kalian tahan jg uangnya ...d mn ke adilan...kok di biarkan sekolah negeri seperti ini berdiri dgn kokohnya.
Inikan sekolah pemerintah bukan swasta,,,gunakan jabatan kalian dgn sebaik2nya,,,apa lagi kalian sudah hajah/haji..kok kelakuan kalian seperti ini..Dunia hanya sesaat Bu...ingat anak cucu...hukuman Allah akan slalu hadir menghampiri kita...kalau bicara sm siswa itu harus bijak jangn kluarkn kata2 yg tidak pantas..klau klian bijak sebagai Guru kmi,,ortu murid pun bisa lebih bijak,,,klau seperti ini terus...kan bisa di sumpahi masyarakat...takut nntinya jadi sampah masyarakat..pakai uang spp lgi perbulannya Rp70.000,- hadeeeech..
Postingan Radja Syarifullah
Tak sedikit warganet yang memberikan komentar atas postingan tersebut. Ada yang menyayangkan, mengapa hal itu bisa terjadi, ada pula yang menganggap perkara ini sudah biasa. Mengingat, SPP adalah kewajiban setiap orangtua.
“Bayar uang sekolah iku kewajiban pak ibuk e. Zaman sekarang sekolah gak ada yang gratisan, kecuali anaknya Pintar Dan berprestasi, itu bisa disekolahkan gratis tanpa biaya. Lawong sekolah saya aja kalo gak lunas uang komite gak bisa ikut ujian, gak bisa ngambil ijazah kok. Lagain PIP kan juga ada pak buk e, Emang gak diurus to.” tulis akun @Nona Eun-kyung.
“Mencerdaskan kehidupan bangsa itu tugas negara, tapi kenapa para oknum2 pemerintah (pegawai negeri) masih saja menjadi preman bersertifikat menindas rakyat?” tulis pengguna akun @Mbas Mbarep.
“Jadi guru jangan seperti itu dong. Nggak pernah jdi murid..yaa,” sindir akun @Yunita Monalisa.
(put)
Share:

Lanjutkan Pendidikan di Community College? Pahami Dahulu Plus Minusnya

https: img-z.okeinfo.net content 2019 08 12 65 2090986 lanjutkan-pendidikan-di-community-college-pahami-dahulu-plus-minusnya-nUbP9E9g6A.jpg

Tidak semua orang mampu meneruskan pendidikannya hingga level doktor (S3) bahkan sarjana (S1) sekalipun. Hal ini karena bermacam alasan, salah satunya keterbatasan biaya dan waktu.
Untuk memudahkan anak muda belajar, ada istilah community college. Lalu apa itu?
Community college adalah perguruan tinggi setara D-3 di Indonesia dengan lama menempuh pendidikan dua tahun. Ketika sudah lulus bisa pindah ke kampus lain dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Community college juga sudah mendapat sertifikasi.
Di Amerika, community college menjadi opsi kedua bila Anda ingin memasukan anak Anda ke perguruan tinggi yang memiliki biaya lebih murah dari pada perguruan tinggi umum lainnya.
Ada beberapa alasan mengapa community college menjadi pertimbangan banyak orangtua yang ingin memasukan anaknya ke community college, salah satu nya adalah biaya tahunan rata-rata biaya kuliah dan biaya yang hanya USD10.230, jika dibandingkan di perguruan tinggi negeri USD14.610.
Berikut plus minus mengkuliahkan anak Anda di community college seperti dilansir huffpost, Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Plus:
1. Memudahkan untuk bisa berfikir lebih dewasa. Community college juga memiliki manfaat jika anak Anda belum tahu jurusan apa yang ingin ia ambil.
2. Community college dapat membantu menurunkan biaya pendidikan. Berbeda dengan perguruan tinggi negri maupun swasta lainnya yang setiap tahun biayanya akan naik, Community college bukan hanya lebih murah, namun setiap tahun biayanya akan menurun.
3. Cocok bagi yang ingin menabung sekaligus berhasil menyelesaikan sekolahnya.
Minus:
1. Community college dapat merusak transisi kehidupan kampus dan menjadi dewasa, karena menurut Elliot, comunnity college tidak bisa membuat mahasiswa menjadi berbaur dengan teman-temannya yang baru, jika siswa mendaftar ke community college seorang diri atau teman dari sekolah menengahnya tidak ada yang mendaftar juga, akan ada kemungkinan anak Anda sulit mendapatkan teman baru.
2. Community College tidak bisa menjanjikan sebuah perusahaan untuk menerima siswa nya, lain dengan anak-anak yang lulus dari sebuah perguruan tinggi negri ataupun swasta. Kekurangan dari Community College adalah ketika kuliah dua tahun, atau mendapatkan gelar sarjana lebih dari empat tahun di community college. Mahasiswa terlihat tidak akan lulus dari universitas ternama.
3. Sayanganya community college tidak menawarkan jurusan dan program akademik sebanyak universitas.
"Dari sudut pandang akademis, jumlah program yang ditawarkan biasanya jauh lebih sedikit daripada di universitas empat tahun," kata CEO Aston & James, sebuah perusahaan konsultan penerimaan MBA di Chicago, Nick Kamboj.
Karena sedikitnya jurusan yang disediakan di community college membuat anak tidak mampu meng-eksplore kemampuannya, hal ini diakui oleh Kamboj. Kamboj juga menyarankan bahwa jika anak Anda ingin menjadi ilmuwan ilmu saraf, community college mungkin bukan jalan yang harus ditempuh, kecuali ia kemudian pindah ke universitas yang lebih besar.
Intinya, Semua pendidikan itu penting dan memiliki kekurangan dan kelebihan sama hal nya seperti Community College dan Perguruan Tinggi pada umumnya. Hanya saja yang perlu diperhatikan bagaimana kita menyesuaikan pengeluaran dan penghasilan yang kita miliki.
(rhs)
Share:

Recent Posts