Pelajar Ikut Demonstrasi, Guru hingga Emak-emak Angkat Bicara

Pelajar Ikut Demonstrasi, Guru hingga Emak-emak Angkat Bicara

Aksi Demonstrasi pelajar turun ke jalan menyusul demonstrasi mahasiswa menolak RKUHP beberapa waktu lalu telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Ada yang mendukung, tapi ada pula yang menentang.

Sebagian yang mendukung atas aksi demonstrasi pelajar setingkat SMA, STM, dan SMK ini lantaran dianggap tak ada salahnya menyalurkan aspirasi dalam permasalahan di negeri ini.
Namun, kalangan lain yang tidak setuju menganggap pelajar belum layak memasuki ranah politik karena sebagian besar belum cukup usia.
Namun Dosen sekaligus Pakar Komunikasi Politik Dr. Zaenal Mukarom, M.Si melihat demonstrasi pelajar tersebut patut diapresiasi dan menunjukkan tumbuhnya kesadaran generasi muda. Mengingat di zaman digital generasi muda sempat mengalami krisis terhadap isu sosial yang ada.
"Tidak perlu setiap orang kerap berprasangka buruk terhadap keterlibatan pelajar, sekarang dianggap diperhitungkan. Harus dipandang secara positif bahwa di balik itu semua kesadaran generasi muda kita ini yang sudah dianggap krisis kini sudah mulai tumbuh," ujar Zaenal saat dihubungi Suara.com beberapa waktu lalu.
Proses Pendidikan Politik
Berdasarkan temuan di lapangan, lanjut dia, saat pelajar ditanyai seputar argumen dan isu yang ingin disampaikan, memang sangat terlihat bahwa pemahaman para pelajar masih sangat dangkal.
Dari sisi berbicara dan menyampaikan aspirasi pun tidak terstruktur. Meski demikian Zaenal melihatnya sebagai suatu proses pendidikan politik yang belum matang, namun dari sisi keterlibatan sudah selayaknya para pelajar tersebut diacungi jempol.
"Ya ini (tidak paham isu) fenomena yang lain yang kemudian, artinya begini dalam konteks keterlibatan mereka dalam menyuarakan suara moral itu tetap harus diposisikan dan dibaca sebagai proses pendidikan politik yang mencerdaskan anak bangsa, artinya nggak ada masalah," tuturnya.
"Hanya (akan jadi masalah) jika ada fakta-fakta dan temuan di lapangan aktivitas mereka cenderung digiring, mereka sendiri tidak tahu dan tidak paham sehingga tidak bisa berproses dengan sendirinya," sambungnya.
Anak STM geruduk gedung DPR. (Suara.com/Novian)
Anak STM geruduk gedung DPR. (Suara.com/Novian)
Laki-laki yang juga dosen pascasarjana di Universitas Islam Negeri Bandung itu sangat tidak setuju jika politik hanya diklaim milik para mahasiswa dan orang dewasa saja.
Mengingat, sejak kecil dari TK bahkan para pelajar telah diajarkan pendidikan politik seperti pelajaran PPKN, pendidikan sosial, cinta tanah air dan pelajaran itu tidak hanya didapat di dalam kelas.
"Tapi konteks bagaimana attitude partisipasi mereka dalam pembangunan politik, karena politik itu kan masalah hajat hidup orang banyak. Jadi tidak mesti harus dipahami bahwa pendidikan politik itu monopoli orang dewasa, lalu kemudian anak-anak remaja tidak bisa," jelasnya.
Meski begitu Zaenal juga tidak menampik jika dari sisi formal orang yang berusia dibawah 17 tahun belum waktunya terjun ke politik.
Namun, kata dia, bukan berarti tidak boleh berpendapat dan kritis terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.
Justru yang harus diingat bagaimana elemen sekitar guru, orang tua, media memberi pengetahuan bagaimana cara mengkritisi yang baik, bukan berarti tidak boleh demo.
"Praktiknya banyak yang tidak sesuai oleh yang diajarkan di bangku sekolah, nah itu yang harus diluruskan. Bahwa kalian boleh sampaikan aspirasi sesuai dengan apa yang diinginkan, tapi tetap dalam bingkai, 'ini loh menghargai orang lain, tidak anarkis dan sesuai koridornya', itu pendidikan politik biasa dan bukan hal yang tabu dan dilarang," paparnya panjang lebar.
Sayangnya, menurut Zaenal, peran media dan perilaku berpolitik orang dewasa ini banyak yang memberikan contoh yang tidak baik. Inilah, sambung dia, yang sepatutnya dikoreksi, karena anak-anak memiliki sifat meniru.
Menurut Zaenal terjadinya aksi anarkis yang dilakukan pelajar saat demonstrasi tidak lepas dari contoh yang dilihat saat para mahasiswa atau orang dewasa lainnya melakukan demo dan berakhir anarkis.
"Apa yang dilihat temen-temen anak SMA seperti misalnya dia melakukan sikap dan prilaku anarkis, vandalisme dan lain-lain. Itu juga karena mungkin dia membaca fenomena bahwa fakta-fakta pendidikan politik seperti menyampaikan suara moral ke jalanan melihat seperti itu (anarkis)," terangnya.
Berbeda dengan Zaenal, Lutfi Kamal M.Pd, Kepala Sekolah SMK Nusantara 1 Comal, Jawa Tengah, justru enggan mengambil risiko dan memilih melarang muridnya ikut demonstrasi yang menyoal RUKHP dan RUU KPK.
Lutfi khawatir dengan berdemo akan menganggu masa depan anak muridnya.
"Saya khawatirnya itu anarkis, jadi tersangka perusakan fasilitas, kasihan juga akibat masa depan, keterangan lulus susah, kelakuan baik susah, apalagi kalau untuk ngalamar perusahaan besar butuh SKCK," ungkap Lutfi melalui sambungan telepon.
Meski demikian Lutfi mengaku setuju dengan demonstrasi yang tidak anarkis dan orang-orang yang ikut demo mengerti apa yang diperjuangkannya itu. Menurutnya, demonstrasi yang berkualitas tersebut bisa menumbuhkan jiwa kritis dan tidak apatis.
"Nah, yang dikhawatirkan jika pelajar tidak tahu betul apa yang didemokan, dan cuma sekadar ikut-ikutan lalu terjadi hal yang tidak dinginkan. Saya melihat nggak ada yang tau apa yang ingin didemokan, nggak tahu tujuannya apa. Anak-anak sekarang kan begitu nggak tahu hanya ingin ramai-ramai aja," tutur Lutfi.
Tidak jauh berbeda dengan Lutfi, Alifatun Yulianti, guru di MAN 1 Bekasi, Jawa Barat, juga punya pendapat serupa. Alif tidak setuju dengan demo yang dilakukan pelajar, meski berpendapat adalah hak setiap orang. Namun, menurutnya, pelajar dianggap belum pantas berdemo.
"Indonesia juga negara hukum yang ada aturan dimana seseorang dianggap dewasa dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatan dan perkatannya setelah 18 tahun. Sementara anak STM masih belum dianggap dewasa jadi mungkin belum pantas kalau dilihat berdasarkan aturan," tutur Alif melalui pesan singkatnya kepada Suara.com, Minggu (29/9/2019).
Alif juga setuju demo adalah bentuk kritik, tapi untuk pelajar alih-alih turun ke jalan, menurutnya banyak yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan jiwa kritis yaitu dengan belajar berdiskusi, lalu dengan sendirinya pemikiran kritis akan terbangun.
"Cuma caranya kalau menurut saya anak seusia SMA mungkin mengkritiknya bisa dimulai dari sekolah dulu. Nah, di sini mungkin guru yang menyediakan ruang buat mereka berdiskusi antar teman dengan dampingan dari guru-guru," jelasnya.
Guru pengajar PPKN ini selalu percaya belajar dan berdiskusi tetap jadi kewajiban utama pelajar. Sehingga saat menjadi mahasiswa dan dewasa jiwa sosial dan kritis akan semakin matang dan terbangun. Saat banyak orang dewasa tidak punya waktu mengkritisi, mahasiswa bisa jadi pengawal jalannya demokrasi di roda pemerintahan.
Riana, warga Tangerang mengungkapkan keresahannya apabila pelajar ikut-ikutan aksi demonstrasi. Menurutnya anak-anak tersebut belum memiliki hak politik secara legal.
"Di sekolah belum ada wadah aspirasi yang mendidik pelajar berpolitik. Berbeda dengan mahasiswa, yang mana di kampus memang ada wadahnya. Kalau, anak-anak ini memang tertarik dengan dunia politik, sebaiknya belajar dulu sambil terus mengikuti isu yang berkembang. Tunggu saatnya nanti tiba untuk menyampaikan buah pemikiran mereka ketika sudah menjadi mahasiswa. Kalau sekarang belum bisa dipertanggungjawabkan," ungkap Riana yang juga lulusan Ilmu Sosial dan Politik di salah satu universitas, panjang lebar, kepada Suara.com, Minggu (29/9/2019).
Pendapat lainnya juga disampaikan oleh seorang ibu milenial, Silvia Junaidi. Ia dengan tegas menyatakan sangat tidak setuju bila pelajar SMA sederajat apalagi SMP ikut demonstrasi.
"Pertama mereka belum mengerti arti dan tujuan demostrasi yang sebenarnya. Dikhawatirkan mereka hanya ikut-ikutan tapi tidak memahami masalah sampai ke akarnya. Misalnya, hanya dilarang pacaran. Ia mengimbau para orang tua ikut mencegah anak-anak ikut demonstrasi, kalau bisa tidak usah sekolah dulu. Lebih dikhawatirkan lagi kalau anak-anak hanya ditunggagi pihak yang tidak bertanggung jawab," tegas Silvia.
Sebagai orangtua yang hanya memiliki satu anak, ia menyatakan akan berpikir ulang untuk mengizinkan anaknya ikut demo, meskipun saat sang anak sudah mahasiswa. Menurut Silvia, para ibu tidak perlu berkecil hati saat anak-anaknya tidak ikut demonstrasi. Begitu pula terhadap diri si anak langsung.
"Apalagi saya pernah ikut demonstrasi 98. Saya tahu bagaimana suasananya dan chaosnya situasi. Sebagai ibu pasti akan mencemaskan keselamatan anak. Tetapi kalau anak kekeuh ingin ikut demo, saya akan ajak diskusi panjang untuk bertukar pikiran lebih dulu," ucapnya.
Ibu-ibu milenial lainnya dari kelompok senam dan arisan Kota Bumi Tangerang juga kompak tidak setuju bila anak-anak mereka mereka yang masih sekolah ikut demo. Mereka sangat mendukung larangan anak sekolah turun ke jalan menolak RKUHP dan RUU KPK.
"Nggaklah, anak saya ada yang SMP, SMA juga ada. Bahkan yang sudah kuliah masih saya larang. Saya maunya mereka belajar saja," ungkap salah satu perwakilan kelompok ibu-ibu berbaju kuning ini.
Terkait isu ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menerbitkan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2019 tertanggal 27 September 2019 tentang Pencegahan Keterlibatan Peserta Didik Dalam Aksi Unjuk Rasa Berpotensi Kekerasan.
"Saya ingin mengingatkan peserta didik kita, siswa kita harus kita lindungi dari berbagai macam tindak kekerasan atau berada di dalam lingkungan di mana ada kemungkinan mengancam jiwa yang bersangkutan," kata dalam keterangan tertulis pada Sabtu (28/9/2019). 
Share:

Recent Posts